BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pada zaman yang modern ini, tidak jarang
kita melakukan transaksi setiap harinya. Karena kita makhluk sosial yang saling
membutuhkan satu sama lain, maka sering kali kita melakukan transaksi.
Contohnya ketika kita berangkat kuliah, kita naik kendaraan umum lalu
membayarnya. Hal tersebut merupakan salah satu contoh transaksi. Atau kita naik
kendaraan pribadi lalu mengisi bahan bakar, kemudian kita membayar dengan uang
dan mendapatkan bahan bakar. Hal tersebut juga merupakan transaksi.
Dalam ibadah kaidah hukum yang berlaku
adalah bahwa semua hal dilarang, kecuali yang ada ketentuan berdasarkan
Al-Qur’an dan Al-Hadis. Sedangkan dalam urusan muamalah, semuanya diperbolehkan
kecuali ada dalil yang melarangnya.
Ini berarti ketika suatu transaksi baru muncul dan belum dikenal sebelumnya
dalam hukum Islam, maka transaksi tersebut dianggap dapat diterima, kecuali
terdapat implikasi dari dalil Quran dan Hadis yang melarangnya, baik secara
eksplisit maupun implicit. Dengan demikian, dalam bidang muamalah, semua
transaksi dibolehkan kecuali yang diharamkan.
Faktor-faktor penyebab terlarangnya sebuah
transaksi adalah sbb;
1.
Haram zatnya (haram li dzatihi)
2. Haram selain zatnya (haram li ghairihi)
3. Tidak sah (lengkap) akadnya.
2. Haram selain zatnya (haram li ghairihi)
3. Tidak sah (lengkap) akadnya.
B.
Rumusan masalah
Adapun rumusan masalah pada makalah ini
adalah:
1.
Apa penyebab terlarangnya sebuah transaksi?
2. Apa saja transaksi yang termasuk melanggar Prinsip ”An Taradin Minkum”?
3. Apa saja transaksi yang termasuk melanggar Prinsip ‘La Tazhlim Tuzhlamun’?
4. Apa saja transaksi yang dilarang karena tidak sah akadnya?
2. Apa saja transaksi yang termasuk melanggar Prinsip ”An Taradin Minkum”?
3. Apa saja transaksi yang termasuk melanggar Prinsip ‘La Tazhlim Tuzhlamun’?
4. Apa saja transaksi yang dilarang karena tidak sah akadnya?
C.
Tujuan
Adapun Tujuan dari pembuatan makalah ini
adalah:
1.
Memenuhi tugas mata kuliah Perbankan Syariah
2. Untuk mengetahui transaksi apa saja yang dilarang
2. Untuk mengetahui transaksi apa saja yang dilarang
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A.
Haram Zat-nya
Suatu transaksi dilarang karena (objek/atau
jasa) yang ditransaksikan juga dilarang, misalnya minuman keras, bangkai,
daging babi, dan sebagainya. Dalam hal ini, transaksi jual beli minuman keras
adalah haram, walaupun akad jual beli nya sah.dengan demikian, bila ada nasabah
yang mengajukan pembiayaan pembelian minuman keras kepada bank dengan
menggunakan akad mudharabah, maka walaupun akadnya sah tetapi transaksi ini
haram karena objek transaksinya haram.
B.
Haram Selain Zat-nya
1.
Melanggar Prinsip ”An Taradin Minkum”
a.
Tadlis (Penipuan)
Seperti yang kita ketahui, kondisi ideal
sebuah pasar adalah apabila penjual dan pembeli mempunyai informasi yang sama
tentang barang yang akan di perjualbelikan. Apabila salah satu pihak tidak
mempunyai informasi seperti yang dimiliki oleh pihak lain, maka salah satu
pihak akan merasa dirugikan dan terjadi kecurangan/ penipuan. (Adiwarman A.
Karim, Ekonomi Mikro Islam, 2012, hlm. 162)
Allah dengan tegas melarang semua
transaksi yang mengandung unsur penipuan dalam segala bentuk terhdapa pihak lain.
Seperti dalam Al-Quran surat Al-An’aam ayat 152, yang artinya :
“Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan
dengan adil. Kami tidak akan memikul beban kepada seseorang melainkan sekadar
kesanggupannya.”
Untuk menghindari penipuan, masing-masing
pihak harus mempelajari strategi pihak lain. Dalam ekonomi konvensional hal ini
dikenal dengan game theory.
Macam-macam Tadlis :
1)
Tadlis dalam Kuantitas
Tadlis dalam Kuantitas termasuk juga
kegiatan menjual barang kuantitas sedikit dengan harga barang kuantitas banyak.
Contoh nya penjual yang mengurangi takaran (timbangan) barang yang dijualnya.
2)
Tadlis dalam Kualitas
Tadlis dalam Kualitas termasuk juga
menyembunyikan cacat atau kualitas barang yang buruk yang tidak sesuai dengan
yang disepakati oleh penjual dan pembeli. Contoh tadlis dalam kualitas adalah
pasar penjualan komputer bekas. Pedagang menjual komputer bekas dengan
kualifikasi pentium III dalam kondisi 80% baik, dengan harga Rp. 3.000.000,00.
Pada kenyataannya, tidak semua penjual menjual komputer bekas dengan
kualifikasi yang sama. Sebagian penjual menjual komputer dengankualifikasi yang
lebih rendah, tetapi menjualnya dengan harga yang sama, yaitu Rp. 3.000.000,00.
Pembeli tidak dapat membedakan mana komputer dengan kualifikasi rendah mana
komputer dengan kualifikasi yang lebih tinggi, hanyapenjual saja yang
mengetahui dengan pasti kualifikasi komputer yang dijualnya.
3)
Tadlis dalam Harga
Tadlis dalam Harga ini termasuk menjual
barang dengan harga yang lebih tinggi atau lebih rendah dari harga pasar karena
ketidaktahuan pembeli atau penjual. Dalam fiqih disebut ghaban (Adiwarman A.
Karim, Ekonomi Mikro Islam, 2012, hlm. 207).
Contohnya tukang becak yang menawarkan
jasanya kepada turis asing dengan menaikan tarif 10 kali lipat dari harga
normal. Hal ini dilarang karena turis asing tersebut tidak mngetahui harga
pasar yang berlaku. (Adiwarman A.karim, Bank Islam analisis fiqih dan keuangan,
2013, hlm. 31).
4)
Tadlis dalam waktu penyerahan
Tadlis dalam waktu penyerahan adalah bila
si penjual tahu persis ia tidak akan dapat menyerahkan barang pada esok hari,
namun menjanjikan akan mnyerahkan barang tersebut pada esok hari. (Adiwarman A.
Karim, Ekonomi Mikro Islam, 2012, hlm. 210).
Demikian juga dengan konsutan yang
berjanji untuk menyelesaikan proyek dalam waktu 2 bulan unutk memenangkan
tender, padahal konsultan tersbut tahu bahwa proyek itu tidak dapat
diselesaikan dalam waktu tersbut. (Adiwarman A.karim, Bank Islam analisis fiqih
dan keuangan, 2013, hlm. 31)
Dalam ke empat bentuk tadlis di atas,
semuanya melanggar prinsip rela sama rela. Keadaan sama-sama rela yang di capai
bersifat sementara, yakni sementara pihak yang ditipu tidak mengetahui bahwa
dirinya ditipu. Di kemudian hari, yakni ketika pihak yang di tipu mengetahui
bahwa dirinya ditipu, maka ia tidak merasa rela.
2.
Melanggar Prinsip ‘La Tazhlimuna wa la Tuzhlamun’
Prinsip kedua yang tidak boleh dilanggar
adalah prinsip La Tazhlimuna wa la Tuzhlamun, yakni yang menzalimi dan jangan
dizalimi. Praktik-praktik yang melanggra prinsip ini diantaranya:
1)
Taghrir (gharar)
Taghrir berasal dari kata Bahasa Arab
gharar, yang berarti: akibat, bencana, bahaya, resiko, dan ketidakpastian.
Dalam istilah fiqih mu’amalah, taghrir berarti melakukan sesuatu secara membabi
buta tanpa pengetahuan yang mencukupi; atau mengambil risiko sendiri dari suatu
perbuatan yang mengandung risiko tanpa mengetahui dengan pesisiapa akibatnya,
atau memasuki kancah resiko tanpa memikirkan konsekuensinya. (Adiwarman A.
Karim, Ekonomi Mikro Islam, 2012, hlm. 211)
Menurut Ibn Taimiyah, gharar terjadi bila
seseorang tidak tahu apa yang tersimpan bagi dirinya pada akhir suatu kegiatan
jual beli.
Dalam tadlis yang terjadi adalah pihak A
tidak mengetahui apa yang tidak diketahui pihak B (unknown to one party).
Sedangkan taghrir, baik pihak A dan pihak B sama-sama tidak memiliki kepastian
mengenai sesuatu yang ditransaksikan (uncertain to both parties).
Macam-macam Taghrir:
a.
Taghrir dalam Kuantitas
Taghrir dalam Kuantitas terjadi dalam
kasus ijon, dimana penjual menyatakan akan membeli buah yang belum nampak
dipohon seharga X. Dalam hal ini terjadi ketidakpastian mengenai berapa
kuantitas buah yang dijual, karena memang tidak disepakati sejak awal. Bila panennya
100 kg, harga Rp. X. Bila panennya 50 kg, harganya Rp. X pula. Bahkan bila
tidak panen harganya Rp. X juga.
b.
Taghrir dalam Kualitas
Contoh dari taghrir dalam kualitas adalah
seorang peternak yang menjual anak sapi yang masih dalam kandungan induknya.
Dalam kasus initerjadi ketidakpastian dalam hal kulaitas objek transaksi,
karena tidak ada jaminan bahwa anak sapi tersebut akan lahir dengan cacat,
normal atauspesifikasi tertentu. Bagaimana kondisi anak sapi tersebut maka
harus di terima oleh pembeli dengan harga yang sudah disepakati.
c.
Taghrir dalam harga
Taghrir dalam harga terjadi misalnya
seorang penjual menyatakan bahwania akan menjual suatu unit panci merk ABC
seharga Rp.10.000,00 bila dibayar tunai, atau Rp. 50.000,00 bila dibayar kredit
selama 5 bulan, kemudian si pembeli menjawa “setuju”. Ketidak pastian muncul
karena adanya dua harga dalam satu akad. Tidak jelasnya harga mana yang
berlaku, yang Rp. 10.000,00 atau yang Rp. 50.000,00. Katakanlah ada pembeli
yang membayar lunas pada bulan ke-3, berapa harga yang berlaku?. Dalam kasus
ini, walaupun kauntitas dan kualitas barang sudah ditentukan, tetapi terjadi
ketidakpastian dalam harga barang karena si penjual dan si pembeli menyepakati
satu harga dalam satu akad. (Adiwarman A. Karim, Ekonomi Mikro Islam, 2012,
hlm. 216)
d. Taghrir dalam waktu penyerahan
Taghrir dalam waktu penyerahan contohnya
bila seseorang menjual mobil X nya yang hilang seharga Rp. 100 juta. Harga
pasar mobil tersebut Rp. 200 juta. Mobil akan diserahkan kepada pembeli jika
barang itu sudah di temukan. Dalam transaksi ini terjadi ketidakpastian
menyangkut waktu penyerahan barang, karena barang yang dijual tidak diketahui
keberadaannya. Mungkin saja barang tersebut akan ditemukan satu bulan lagi,
atau satu tahun bahkan tidak ditemukan.
Dalam keempat bentuk gharar di atas,
keadaan sama-sama rela dicapai bersifat sementara, yaitu sementara keadaannya
masih tidak jelas kedua belah pihak. Dikemudian hari, yaitu ketika keadaannya
telah jelas salah satu pihak (penjual/pembeli) maka akan merasa terzalim, walau
pada awalnya tidak demikian.
2)
Ihtikar (rekayasa pasar dalam
supply)
Ikhtikar terjadi bila seorang produsen/
penjual mengambil keuntungan di atas keuntungan normal dengan cara mengurangi
supply agar harga produk yang di jualnya naik. Ikhtikar biasanya dilakukan
dengan membuat entry barrier, yakni menghambat produsen/ penjual lain masuk ke
pasar, agar ia menjadi pemain tunggal di pasar (monopoli). Karena itu, biasanya
orang menyamakan ikhtikar dengan monopoli dan penimbunan.
Ikhtikar terjadi bila syarat-syarat
dibawah ini terpenuhi:
a) Mengupayakan adanya kelangkaan barang baik
dengan cara menimbun stock atau mengenakan entry-barries.
b)
Menjual dengan harga yang lebih tinggi dibandngkan harga sebelum
munculnya kelangkaan.
c)
Mengambil keuntungan yang lebih tinggi dibandingkan keuntungan sebelum
komponen 1 & 2 dilakukan.
3)
Bai’ najasy (rekayasa pasar dalam demand)
Bai’ najasy terjadi bila seorang
produsen(pembeli) menciptakan permintaan palsu, seolah-olah ada banyak
permintaan terhadap suatu produk sehingga harga jual produk itu akan naik. Hal
ini terjadi misalnya, dalam bursa saham (praktik goreng-menggoreng saham),
bursa valas, dan lain-lain. Cara yang ditempuh bisa bermacam-macam, mulai dari
menyebarkan isu, melakukan order pembelian, sampai benar-benar melakukan pembelian
pancingan agar tercipta sentimen pasar untuk ramai-ramai membeli saham (mata
uang) tertentu. Bila harga sudah naik sampai level yang di inginkan, maka yang
bersangkutan akan melakukan aksi ambil unutng dengan melepas kembali (mata
uang) yang sudah dibeli, sehingga ia akan mendapatkan keuntungan besar.
4)
Riba
Dalam ilmu fiqih dikenal 3 jenis riba
yaitu:
a. Riba
Fadl
Riba Fadl disebut juga Riba Buyu’ atau riba yang yang timbul akibat pertukaran barang sejenis yang tidak memenuhi kriteria sama kualitasnya (mistlan bi mistlin), kuantitasnya (sawaa-an bi sawaa-in) dan waktu penyerahannya (yadan bi yadin). Pertukaran seperti ini mengandung gharar atau ketidakjelasan bagi kedua pihak akan nilai masing-masing barang yang dipertukarkan. Ketidakjelasan ini dapat menimbulkan tindakan zalim terhadap salah satu pihak, kedua pihak, dan pihak-pihak lain.
Riba Fadl disebut juga Riba Buyu’ atau riba yang yang timbul akibat pertukaran barang sejenis yang tidak memenuhi kriteria sama kualitasnya (mistlan bi mistlin), kuantitasnya (sawaa-an bi sawaa-in) dan waktu penyerahannya (yadan bi yadin). Pertukaran seperti ini mengandung gharar atau ketidakjelasan bagi kedua pihak akan nilai masing-masing barang yang dipertukarkan. Ketidakjelasan ini dapat menimbulkan tindakan zalim terhadap salah satu pihak, kedua pihak, dan pihak-pihak lain.
b.
Riba Nasi’ah
Riba Nasi’ah disebut juga Riba Duyun atau riba yang timbul akibat utang piutang yang tidak memenuhi kriteria al-Ghunmu bil Ghurmi (untung muncul bersama resiko) dan al-Kharaj bi Dhamana (hasil usaha muncul bersama biaya). Transaksi seperti ini mengandung pertukaran kewajiban menanggung beban hanya karena berjalannya waktu.
Riba Nasi’ah disebut juga Riba Duyun atau riba yang timbul akibat utang piutang yang tidak memenuhi kriteria al-Ghunmu bil Ghurmi (untung muncul bersama resiko) dan al-Kharaj bi Dhamana (hasil usaha muncul bersama biaya). Transaksi seperti ini mengandung pertukaran kewajiban menanggung beban hanya karena berjalannya waktu.
Nasi’ah adalah penangguhan penyerahan atau
penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi
lainnya. Riba Nasi’ah muncul karena adanya perbedaan, perubahan atau tambahan
antara barang yang diserahkan hari ini dengan barang yang diserahkan kemudian.
c.
Riba Jahiliyah
Riba Jahiliyah adalah utang yang dibayar melebihi pokok pinjaman karena si peminjam tidak mampu mengembalikan pinjaman pada waktu yang telah ditetapkan. Riba Jahiliyah dilarang karena terjadi pelanggaran kaidah “Kullu Qardin Jarra Manfa’atan Fahuwa Riba” (setiap pinjaman yang mengambil manfaat adalah riba). Memberi pinjaman adalah transaksi kebaikan (tabaru’), sedangkan meminta kompensasi adalah transaksi bisnis (tijarah). Jadi, ttransaksi yang semula diniatkan sebagai transaksi kebaikan tidak boleh diubah menjadi transaksi yang bermotif bisnis.
Riba Jahiliyah adalah utang yang dibayar melebihi pokok pinjaman karena si peminjam tidak mampu mengembalikan pinjaman pada waktu yang telah ditetapkan. Riba Jahiliyah dilarang karena terjadi pelanggaran kaidah “Kullu Qardin Jarra Manfa’atan Fahuwa Riba” (setiap pinjaman yang mengambil manfaat adalah riba). Memberi pinjaman adalah transaksi kebaikan (tabaru’), sedangkan meminta kompensasi adalah transaksi bisnis (tijarah). Jadi, ttransaksi yang semula diniatkan sebagai transaksi kebaikan tidak boleh diubah menjadi transaksi yang bermotif bisnis.
Dari segi penundaan waktu penyerahannya,
riba jahiliyah tergolong riba nasi’ah sedangkan dari segi objek yang
dipertukarkan tergolong riba fadl. Tafsir Qurtuby menjelaskan:
“Pada zaman jahiliyah para kreditur,
apabila utang sudah jatuh tempo, akan berkata pada para debitur: “Lunaskan
utang anda sekarang atau andatunda pembayaran itu dengan tambahan.” Maka pihak
debitur harus menambah jumlah kewajiban pembayaran utangnya dan kreditur
menunggu waktu pembayaran kewajiban tersebut dengan ketentuan baru.”
Dalam perbankan konvensional, riba
jahiliyah dapat ditemui dalam pengenaan bunga pada transaksi kartu kredit yang
tidak dibayar penuh tagihannya.
Dari definisi riba, sebab (illat) dan tujuan (hikmah) pelarangan riba, maka dapat diidentifikasi praktik perbankan konvensional yang tergolong riba. Riba Fadl dapat ditemui dalam transaksi jual beli valuta asing yang tidak dilakukan secara tunai. Riba Nasi’ah dapat ditemui dalam transaksi pembayaran bunga kredit dan pembayaran bunga tabungan/deposito/giro. Sedangkan Riba Jahiliyah dapat ditemui dalam transaksi kartu kredit yang tidak dibayar penuh tagihannya.
Dari definisi riba, sebab (illat) dan tujuan (hikmah) pelarangan riba, maka dapat diidentifikasi praktik perbankan konvensional yang tergolong riba. Riba Fadl dapat ditemui dalam transaksi jual beli valuta asing yang tidak dilakukan secara tunai. Riba Nasi’ah dapat ditemui dalam transaksi pembayaran bunga kredit dan pembayaran bunga tabungan/deposito/giro. Sedangkan Riba Jahiliyah dapat ditemui dalam transaksi kartu kredit yang tidak dibayar penuh tagihannya.
Tipe
Faktor Penyebab
Cara Menghilangkan Faktor Penyebab
Riba Fadl
Gharar
Kedua belah pihak harus memastikan hal-hal
berikut ini:
1.
Kuantitas
2. Kualitas
3. Harga
4. Waktu penyerahan
2. Kualitas
3. Harga
4. Waktu penyerahan
Riba Nasi’ah
Al-Ghunmu bi laa Ghurmi (untung tanpa
resiko) dan al-Kharaj bi laa Dhaman (pendapatan tanpa biaya)
Kedua belah pihak harus membuat kontrak
yang merinci hak dan kewajiban masing-masing untuk menjamin tidak ada pihak
manapun yang mendapatkan return tanpa menanggung risiko, atau menikmati
pendapatan tanpa menanggung biaya.
Riba Jahiliyah
Kullu Qardin Jarra manfaatan fahuwa Riba
(Setiap pinjaman yang mengambil manfaat adalah riba).
1.
Jangan mengambil keuntungan apapun dari akad atau transaksi kebaikan
(tabarru’)
2.
Kalaupun ingin mengambil manfaat,
maka gunakanlah akad bisnis (tijarah), bukan akad kebaikan (tabarru’)
5)
Maysir
Maisyir atau perjudian adalah menempatkan
salah satu pihak harus menanggung beban pihak yang lain akibat permainan
tersebut. Maisyir ini bisa disebut juga zero sum game, artinya dalam suatu
permainan pasti ada pihak yang menang dan pihak yang kalah, atau salah satu
pihak merasakan keuntungan dan pihak lain merasakan kerugian.
Allah SWT telah melarang kita untuk
medekati hal-hal semacam maisyir ini dalam firman-Nya Quran surat al-Maidah
ayat 90:
يا ايها الذين امنو انما الخمر و الميسر والانصاب
والازلام رجس من عمل الشيلطان فاجتنبوه لعلكم تفلحون
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman,
meminum khamr, berjudi, berkorban untuk berhala, mengundi nasib dengan panah
adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syetan. Maka jauhilah
perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.”
Maisyir diharamkan transaksinya kerena
melanggar prinsip “Laa Tazlimuuna wa laa Tuzlamuun.” Lalu apakah semua
transaksi atau permainan yang melibatkan 2 pihak dan mengharuskan satu pihak
menang dan pihak lain rugi adalah haram? Untuk menghindari terjadinya maisyir
dalam sebuah permainan, misalnya pembelian trophy atau bonus untuk para juara
tidak boleh bersumber dari dana partisipasi para pemain, melainkan dari dana
sponsorship yang tidak ikut bertanding. Dengan demikian,tidak ada pihak yang
merasa dirugikanatas kemengan pihak yang lain. Pemberian trophy atau bonus
semacam ini dalam istlah fiqh disebut hadiah dan halal hukumnya.
6)
Risywah
Risywah atau suap-menyuap adalah memberi
sesuatu kepada pihak lain untuk mendapatkan sesuatu yang bukan haknya. Suatu
perbuatan bisa dikatakan risywah jika kedua belah pihak dalam keadaan sukarela.
Apabila hanya satu pihak yang rela dan pihak lain dalam keadaan terpaksa,
perbuatan tersebut disebut pemerasan.
Allah SWT telah memperingatkan kita untuk
tidak melakukan risywah dalam salah satu firman-Nya Quran surat al-Baqarah ayat
188:
Artinya: “Dan janganlah sebagian kamu
memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan
janganlah kamu membawa urusan harta itu kepada hakim supaya kamu dapat memakan
sebagian harta benda orang lain itu dengan jalan berbuat dosa, padahal kamu
mengetahui.”
Rasulullah pun telah memberi peringatan
dengan tegas untuk menjauhi praktik risywah dalam sabdanya yang diriwayatkan
oleh Ahmad:
“ Allah melaknat orang yang memberi suap,
penerima suap, sekaligus broker suap yang menjadi penghubung antara keduanya.”
Para fuqaha lebih jau menyatakan bahwa
pemberi suap dan penerima suap sama-sama bisa diseret ke pengadilan jika
keduanya terbukti tujuan dan keinginan yang sama. Ulama ahli fiqh juga
menegaskan bahwa hadiah-hadiah yang diberikan kepada para penjabat bentuk suap,
uang haram dan penyalahgunaan wewenang. Mereka berdalil pada hadits tentang
perilaku ibnu al-Latbiyyah yang menjabat sebagai pengurus zakat dan konon
sering diberi hadiah dan bingkisan. Dalam hadits tersebut Rasulullah bersabda:
“Coba, maukah ia duduk manis di rumah ayah
dan ibunya (tidak usah menjadi amil zakat) sampai datang kepadanya hadiah
tersebut jika memang ia benar. Sesungguhnya hal yang demikian adalah tindakan
penghianatan jabatan.” (HR al-Bukhari)
Risywah diharamkan transaksinya karena
melanggar prinsip “Laa Tazlimuuna wa Laa Tuzlamuun” dan dapat merugikan pihak
lain.
C.
Tidak Sah/ lengkapnya akad
Suatu kategori yang tidak masuk dalam
kategori haram li dzatihi maupun haram li ghairihi, belum tentu serta-merta
menjadi halal. Masih ada kemungkinan transaksi itu tersebut menjadi haram bila
akad atas transaksi itu tidak sah atau tidak lengkap. Suatu transaksi dapat
dikatakan tidak sah dan atau tidak lengkap adanya, bila terjadi salah satu
(atau lebih) faktor-faktor berikut ini:
1.
Rukun dan Syarat tidak terpenuhi
Rukun adalah sesuatu yang wajib ada dalam
suatu transaksi (necessary condition), misalnya ada [enjual dan pembeli. Tanpa
adanya penual dan pembeli, maka jual-beli tidak aka nada.
Pada umumnya, rukun dalam muamalah
iqtishadiyah (muamalah dalam bidang ekonomi) ada 3, yaitu:
a.
Pelaku
Pelaku bisa berupa penjual-pembeli (dalam
akad jual-beli), penyewa-pemberi sewa (dalam akad sewa-menyewa), atau penerima
upah-pemberi upah (dalam akad upah-mengupah), dan lain-lain. Tanpa pelaku, maka
tidak ada transaksi.
b.
Objek
Objek transaksi dari semua akad diatas
dapat berupa barang atau jasa. Dalam akad jual-beli mobil, maka objek
transaksinya adalam mobil. Dalam akad menyewa rumah, maka objek transaksinya
adalah rumah, semikian seterusnya. Tanpa objek transaksi, mustahil transaksi
akan tercipta.
c.
Ijab-kabul
Ijab-kabul adalah adanya kesepakatan
antara kedua belah pihak yang bertransaksi. Tanpa ijab-kabul, mustahil pula
transaksi akan terjadi.
Dalam kaitannya dengan kesepakatan ini,
maka akad dapat menjadi batal bila terdapat:
a.
Kesalahan/kekeliruan objek
b.
Paksaan (ikrah)
c.
Penipuan (tadlis)
Bila ketiga rukun diatas terpenuhi,
transaksi yang dilakukan sah. Namun bila rukun diatas tidak tepenuhi (baik satu
rukun atau lebih), maka transaksi menjadi batal.
Selain rukun, faktor yang harus ada supaya
akad menjadi sah (lengkap) adalah syarat. Syarat adalah sesuatu yang
keberadaannya melengkapi rukun (sufficient condition). Contohnya adalah bahwa
pelaku transaksi haruslah orang yang cakap hukum (mukallaf). Bila rukun sudah
terpenuhi tetapi syarat lengkap sehingga transaksi tersebut menjadi fasid
(rusak). Demikian menurut Mahzab Hanafi.
Syarat bukanlah rukun, jadi tidak boleh
dicampuradukkan. Dilain pihak, keberadaan syarat tidak oleh:
a.
Menghalalkan yang haram
b.
Mengharamkan yang halal
c.
Menggugurkan rukun
d.
Bertentangan dengan rukun, atau
e.
Mencegah berlakunya rukun tidak terpenuhi, rukun menjadi tidak berlaku
2.
Terjadi Ta’alluq
Ta’alluq terjadi bila kita dihadapkan pada
dua akad yang saling dikaitkan, maka berlakunya akan 1 tergantung pada akad 2.
Contohnya A menjual barang X seharga Rp
120 juta secara cicilan kepada B, dengan syarat bahwa B harus kembali menjual
barang tersebut kepada A secara tunai seharga Rp 100juta.
Transaksi diatas haram, karena ada
persyaratan bahwa A bersedia menjual barang X ke B asalkan B kembali menjual
barang tersebut kepada A. dalam kasus ini, disyaratkan bahwa akad 1 berlaku
efektif bila akad 2 dilakukan. Penerapan syarat ini mencegah terpenuhinya rukun.
Dalam terminologi fiqih, kasus diatas tersebut bai’ al-‘inah.
3.
Terjadi two in one
Two in one adalah kondisi dimana suatu
transaksi diwadahi oleh dua akad sekaligus, sehingga terjadi ketidakpastian
(gharar) mengenai akad mana yang harus digunakan (berlaku). Dalam terminologi
fiqih, kejadian ini disebut dengan shafqatain fi al-shafqah.
two in one terjadi bila semua dari ketiga
faktor dibawah ini terpenuhi:
a.
Objek sama
b.
Pelaku sama
c.
Jangka waktu sama
Contohnya, A menjual mobil seharga Rp
100juta kepada B yang harus dilunasi maksimal selama 12 bulan dan selama belum
lunas, A menganggap uang cicilan B sebagai uang sewa. Dalam transaksi ini,
terjadi gharar dalam akad, karena ada ketidakjelasan akad mana yang berlaku:
akad beli atau akad sewa.
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dalam ibadah kaidah hukum yang berlaku
adalah bahwa semua hal dilarang, kecuali yang ada ketentuan berdasarkan
Al-Qur’an dan Al-Hadis. Sedangkan dalam urusan muamalah, semuanya diperbolehkan
kecuali ada dalil yang melarangnya. Adapun faktor-faktor penyebab dilarangnya
suatu transaksi adalah apabila Haram zatnya (haram li dzatihi), Haram selain
zatnya (haram li ghairihi),Tidak sah (lengkap) akadnya.
Dalam islam, terdapat prinsip-prinsip yang
harus ditaati ketika kita bertransaksi. Prinsip-prinsip itu adalah prinsip ”An
Taradin Minkum” dan Prinsip ‘La Tazhlimuna Tuzhlamun’.
Transaksi yang melanggar prinsip An
Taradin Minkum yaitu tadlis, sedangkan
transaksi yang melanggar Prinsip ‘La Tazhlimuna Tuzhlamun adalah Taghrir,
ikhtikar, bai’ najasi, riba, maysir dan riswah.
Ada pula transaksi yang dilarang karena
tidak sah akadnya seperti tidak terpenuhinya rukun dan syarat, ta’alluq, dan
two in one.
Daftar Pustaka
Karim, Adiwarman A. Bank Islam Analisis
Fiqih dan Keuangan. Jakarta: Pt. Raja Grafindo Persada. 2013
Karim, Adiwarman A. Ekonomi Mikro Islam.
Jakarta: Rajawali Pers. 2012
Al-Qardhawi, Yusuf. Bunga Bank Haram.
Diterjemahkan oleh : Stiawan Budi Utomo. Jakarta: Akbar Media Eka Sarana. 2003
Tidak ada komentar:
Posting Komentar